Pages

Kamis, 25 Maret 2010

Ketika Pembelajaran Anak Ditelan Cyberspace*)

Bapak dan ibu senang bermain Game Komputer? Atau anak-anak kita sangat akrab dengan permainan Sega, Nitendo, Sony Play Station, atau X-Box? Ya, sebuah budaya dan dunia baru yang menelingkupi kita di era kesejagatan ini, era cyberspace.
Bumi kita memang masih bulat lonjong --bukan bulat bola utuh seperti kita lihat di gambar-gambar atau bentuk bola bumi--, namun kini bumi kini tak lebih dari sebesar bola tenis karena dengan alat komunikasi kita dapat menggenggam dunia. Manusia memang masih memiliki dua mata, namun kita dapat menggunakan mata kita untuk melihat benda-benda angkasa yang sangat jauh jaraknya dengan teleskop elektronik.
Kita telah dilenakan dengan hal yang maya ketimbang yang nyata. Tidak percaya? Dalam pendahuluan buku High Tech, High Touch karya John Naisbitt, (Naisbitt, 1999) dijelaskan akan zona mabuk teknologi, dimana salah satu gejalanya adalah mengaburkan perbedaan antara yang nyata dengan yang semu. Kita lebih percaya akan tayangan-tangan televisi ketimbang berita yang sebenarnya.
Sinetron menjadi “kamus” kita dalam bersikap dan berprilaku. Saya mempunyai pengalaman nyata ketika mengikuti seminar di Klub Buah Hati-nya Bunda Neno Warisman, ketika itu membahas tentang pernikahan dini dan hamil di luar nikah. Di salah satu materi meminta peserta mengambil sikap bagaimana bila salah satu keluarga kita terjadi kehamilan di luar nikah. Apa jawaban mereka? Ada salah satu komentar dalam kelompok saya, seorang ibu yang mengambil sikap dari melihat tayangan sinetron Pernikahan Dini di salah satu stasiun TV swasta –yang nyata-nyata kalau kita perhatikan merupakan contoh yang jauh sekali dari Budaya Asli Indonesia-, (benar bukan Ibu?!).
Dan anak-anak kita lebih menganggap nyata cerita dalam permainan mereka di Play Station 2 atau X-Box, sehingga banyak kasus di Amerika Serikat (ingat peristiwa penembakan di sekolah Springfield dan Littleton) dimana terjadinya pembunuhan terhadap sesama teman mereka satu sekolah dengan menggunakan senjata api -sungguhan- karena mereka mencontoh permainan Half Life atau Counter Strike yang mereka mainkan di game komputer mereka. Di permainan tersebut di peragakan permainan perang-perangan dengan menggunakan senjata api dan dapat menembak musuh mereka dari jarak yang dekat. Saya sempat memperhatikan dalam Game Station di beberapa Warnet (Warung Internet) beberapa anak bermain Counter Strike, mereka menembak musuh mereka bahkan dalam keadaan mereka tertawa dan tanpa berkedip (luar biasa).

PEMBELAJARAN ANAK SECARA KONSEP TEORI DAN KENYATAAN
Menurut Piaget, anak usia 7 – 11 tahun berada pada tingkat operasional konkrit. Artinya mereka akan menerima informasi dalam keadaan yang sebenar-benarnya nyata. Jadi media lihat-pandang-dengar-sentuh dan rasa sangat berguna bagi anak. Namun dengan era maya seperti sekarang, dimana televisi dan komputer menjadi media pembelajaran yang diminati siswa. Sentuhan, sebagai komponen yang harus dilalui dalam tahap operasional konkrit ini, terlupakan. Akibatnya, anak mungkin akan mengenal hewan kambing hanya lewat bentuk dan suaranya saja. Sedangkan bagaimana tingginya, halus atau kasar bulunya, bagaimana bentuk dan tekstur tanduknya mereka tidak dapat merasakannya.
Ketika anak duduk di dalam kelas, dan guru menjelaskan konsep tentang hewan kelinci. Dalam pikiran mereka berusaha mencari bentuk realitas akan sebuah benda yang bernama hewan kelinci itu. Bagi anak yang sudah pernah melihat kelinci akan sangat mudah memahami konsep nyata seeokor kelinci dengan bentuk konsep ide dari seekor kelinci dalam pikiran mereka.
Bagi anak yang belum pernah melihat mungkin akan mengalami kesulitan. Begitu dijelaskan bahwa telinga kelinci panjang, dalam pikiran mereka mungkin tertukar dengan telinga keledai yang mereka pernah lihat bertelinga panjang. Begitu dijelaskan bahwa kelinci melompat-lompat, dalam pikiran mereka mungkin tertukar dengan hewan tupai yang pernah mereka lihat melompat di pohon.
Sehingga, perlu suatu pembelajaran yang konkrit bagi anak dalam mengenal konsep suatu hal. Karena dalam diri manusia terdapat alam nyata dan alam ide. Alam nyata, merupakan alam yang mereka lihat-pandang-dengar-sentuh-dan rasa di dunia ini dengan seluruh panca indranya. Dan alam ide, merupakan alam dimana setelah mereka memahami sebuah konsep nyata tentang sebuah benda, mereka memasukkannya dalam pikiran mereka. Setiap konsep dalam alam ide setiap orang pasti berbeda-beda.
Contohnya, konsep tentang “kursi” dalam alam ide seseorang pasti berbeda. Ada yang berpikir berkaki dua, ada yang berpikir menggunakan tangan atau bahkan ada yang berpikir tentang kekuasaan. Namun konsep nyata sebuah kursi akan sama. Ketika diletakkan sebuah kursi di hadapan semua orang. Maka semua akan setuju bahwa yang berada di depan mereka adalah kursi.
Lantas bagaimana dengan membelajarkan anak dengan baik? Sedangkan setiap hari mereka selalu berhadapan dengan televisi, komputer dan internet? Haruskah anak kita beri suapan tentang berbagai konsep yang ada di alam ini? Bisa ya bisa pula tidak. Ingat setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Dan pemahaman seseorang akan sebuah konsep berbeda-beda pula. Hal yang terbaik adalah, mengajak anak melihat secara langsung sebuah benda dan mendiskusikannya kembali di dalam kelas. Sehingga di dapat pemahaman yang minimal hampir sama. Lantas bagaimana bila seorang anak telah mengetahui sebuah konsep sedangkan teman yang lain –termasuk gurunya- belum mengetahui? Dapat dilakukan dengan cara mengajak si anak menjeaskan di depan kelas, bahkan bila mungkin membawa benda yang dimaksud ke dalam kelas untuk bersama-sama di pelajari.

APAKAH ERA CYBERSPACE PERLU DITAKUTI DAN DIHINDARI?
Ketakutan akan sesuatu bila berlebihan dapat menimbulkan kerugian bila itu tidak dipelajari sebelumnya. Era Cyberspace cepat atau lambat akan menelingkupi kita semua. Tidak mungkin bila kita berlari menghindarinya.
Hal yang terbaik adalah kita tidak menghindari namun kita MEMPELAJARI dan MENGGUNAKANNYA bagi kesejahteraan seluruh ummat. Karena teknologi ibarat sebuah pisau, bila digunakan dengan baik maka dapat berguna bagi kehidupan, namun bila digunakan secara tidak bertanggung jawab dapat digunakan untuk tindak-tindak kriminal.

PENGGUNAAN CYBERSPACE UNTUK PEMBELAJARAN
Lantas bagaimana penggunaan cyberspace khususnya internet bagi pembelajaran? Bukan mustahil -dan sudah dilakukan- pembelajaran dilakukan dengan menggunakan media komputer dan internet. Dengan menggunakan prinsip belajar mandiri, pembelajaran menggunakan internet dikemas dalam bentuk modul-modul pendidikan. Sehingga setiap anak dapat dengan bebas memilih bidang dan kemampuan apa yang akan dipelajarinya. Sehingga setiap anak berkesempatan belajar mengenal dan mengembangkan potensi dirinya.

Sudah banyak situs-situs pembelajaran di internet baik untuk orang tua maupun bagi anak. Bahkan sudah menjadi semacam keharusan bagi setiap orang terkoneksi dengan jaringan internet, karena memang di sana pusat sumber informasi berotasi.
Yang menjadi perhatian kita sebagai pendidik adalah, bagaimana menjaga pemahaman anak dengan tidak hanya melepas anak asyik dengan dunia maya namun harus juga dikenalkan akan dunia realitas di sekitarnya.

*)Cyberspace: suatu ruang yang bukan sebenarnya dalam pengertian umum atau ruang tiga dimensi, melainkan sebuah metafora, sebuah “ruang” simbolis tempat kita “tinggal”, tetapi tidak dalam pengertian fisik. Telepon merupakan contoh nyata yang paling sederhana. Kita berkomunikasi –berbagi informasi, emosi dan sebagainya- tetapi tidak hadir secara fisik. (Ruang yang Hilang; pandangan humanis tentang budaya cyberspace yang merisaukan, Mizan, 1999.)

Sumber:
1. Slouka, Mark. 1999. Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan. Bandung. Seri Alaf, Mizan.
2. Widjanarko, Putut. 2000. Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace. Bandung. Mizan Pustaka.
3. Naisbitt, John., Nana Naisbitt, & Douglas Philips. 2001. High Tech High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi. Bandung. Mizan Pustaka.

(Muhammad N. Ikhsan)

Sabtu, 20 Maret 2010

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.

Nilai Balik Pendidikan

Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

Fungsi Non Ekonomi

Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Kesimpulan

Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama. Bila demikian, ke arah mana pendidikan negeri ini harus dibawa? Bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik? Marilah kita renungkan bersama.

(Nurkolis, Dosen Akademi Pariwisata Nusantara Jaya di Jakarta)

Selasa, 02 Maret 2010

Menggagas Pendidikan Multikultural di Sekolah : Menyoal Pendidikan Multikultural di Sekolah

Seiring dengan perkembangan peradaban informasi, masalah yang di alami oleh dunia pendidikan kita kian lama semakin kompleks. Kompleksitas masalah tersebut dapat di lihat dari berbagai hal. Diantaranya adalah rendahnya kualitas mutu pendidikan nasional, gonta-gantinya kurikulum, ujian nasional hingga ancaman dan peluang mewujudkan masyarakat multikultural melalui institusi pendidikan.
Melihat benang kusut dunia pendidikan di atas, tentu semua pihak, baik pemerintah maupun lainnya, perlu memfikirkan dan mencari solusi alternatif atas ruwetnya problematika pendidikan di Indonesia. Bagaimana (kira-kira) respons pendidikan dalam menghadapi arus globalisasi, informasi dan demokratisasi?
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang multikultural, mampukah dunia pendidikan menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya nilai-nilai multikulturalisme? Yaitu, pendidikan yang mengakui dan menghormati keragaman etnis, agama, suku dan ras. Pertanyaan dan pernyataan tersebut perlu dijawab, mengingat kompleksitas problematika pendidikan di negeri ini
Tulisan ini tidak bermaksud ingin menawarkan konsep praktis-operasional tentang Pendidikan Multikultural di sekolah. Namun, penulis hanya ingin mendialogkan kembali pentingnya nilai-nilai keragaman budaya (multikulturalisme) dimasukkan dalam kurikulum pendidikan kita. Agar supaya, pengalaman pahit selama Orde Baru, tidak terulang kembali.
Seperti pola-pola kebijakan yang cenderung top-down (atas-bawah) dan sentralistik. Serta, bentuk-bentuk pemaksaaan kehendak dari pemerintah untuk membentuk satu kehidupan berbangsa yang seragam. Gelombang demokrasi seperti saat ini, menuntut pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan dalam kehidupan masyarakat yang secara realitas majemuk (plural). Kemajemukan masyarakat tersebut di atas, tentu perlu direspons secara positif oleh semua kalangan, tak terkecuali pendidikan.
Pendidikan merupakan media transformasi budaya yang cukup ampuh dalam menciptakan iklim yang harmonis. Dengan menghadirkan paradigma baru pendidikan multikultural (mungkin) jawaban tepat atas beberapa problematika tersebut. Dan, perlu kita sadari bersama, bahwa proses pendidikan adalah proses pembudayaan.
Mewujudkan cita-cita persatuan bangsa merupakan suatu unsur budaya nasional. Pendidikan multikultural dapat kita rumuskan sebagai wujud kesadaran tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia (HAM) serta pengurangan atau penghapusan berbagai jenis prasangka (prejudise) untuk membangun suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS).
Selain itu, pendidikan multikultural bisa juga diartikan sebagai strategi untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap bangsanya (the pride in one’s home nation). Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, plural, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak 1999 lalu hingga saat ini.
Penyelenggaraan ‘model’ pendidikan multikultural yang harus dikembangkan di Indonesia adalah yang sesuai dengan konteks (karakter) sosio-kultural masyarakat Indonesia. Dan dilaksanakan dengan prinsip hati-hati. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati, justru mungkin akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional (disintegrasi bangsa).
Secara historis, sesungguhnya pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa Orde Baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, juga terjadi peningkatan gejala "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik. Maksud dan tujuan pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran. Tetapi, juga melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Pengalaman di Amerika Serikat, bersamaan dengan masuknya wacana tentang multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antarkelompok.
Dalam konteks Indonesia, untuk mewujudkan model-model tersebut, perlu mempertimbangkan kombinasi model yang ada. Misalnya, model Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi. Yakni, Transformasi diri, transformasi sekolah, dan transformasi masyarakat.
Urgensi Pendidikan Multikultural
Pertentangan etnis dan konflik SARA yang terjadi beberapa dekade terakhir ini mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural di sekolah. Seperti telah di singgung di atas, meskipun bangsa ini secara formal mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya tidak.
Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terpenjara dalam pemenuhan target sebagai akibat dari kapitalisme yang telah menguasai negeri ini. Sehingga, memunculkan apa yang disebut dengan konsep link and match. Yang akhirnya, pendidikan tidak lebih dari pabrik raksasa yang menghasilkan tenaga kerja terampil, namun dengan bayaran murah. Pada masa Orde Baru, pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi politik untuk mendukung rezim yang sedang berkuasa. Waktu itu hampir tidak ada ruang untuk mengungkapkan identitas lokal dalam sistem pendidikan. Yang ada hanyalah kebudayaan nasional. Warna-warna lokal di anggap sesuatu yang sekunder. Padahal lokalisme merupakan bagian penting, apalagi dalam pendidikan multikultural. Mengapa? Karena, di situlah setiap orang (budaya) dapat melihat dirinya (self). Di situ pula orang bisa melihat keragaman orang lain (the other).
Pada sentra-sentra kebudayaan, seperti kota-kota besar, di mana hidup berbagai macam etnis di dalamnya, pertemuan antarkebudayaan merupakan persoalan yang menarik. Dari hasil pertemuan ini timbul sebuah kreativitas baru yang pada akhirnya memperkaya kebudayaan. Kuncinya adalah kreativitas dan dinamika. Sistem kebudayaan yang demikian perlu dalam menghadapi tantangan yang akan terjadi di masa depan.
Desentralisasi kebudayaan tidak hanya akan membiarkan sentra-sentra kebudayaan yang tersebar luas di kepulauan nusantara tumbuh subur. Namun, juga akan menumbuhkan kreativitas bangsa. Ini pada gilirannya akan menciptakan ketahanan budaya dari gempuran globalisasi. Nilai-nilai budaya yang ada harus dilihat sebagai bagian dari masa depan, dikembangkan secara kreatif dan dalam suatu proses perubahan yang eksistensial. Jika tidak demikian, maka sentra dan kantung-kantung kebudayaan itu akan menjadi lembaga yang defensif dan konservatif. Pada prinsipnya pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Untuk mendesain pendidikan multikultural secara praksis tentu tidak mudah. Tetapi, paling tidak kita mencoba melakukan ijtihad untuk mendesain sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikultural yang sesuai dengan corak masyarakat kita.
Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua metode bila kita ingin mewujudkan pendidikan multikultural di sekolah. Pertama adalah dialog. Pendidikan multikultural tidak mungkin berlangsung tanpa dialog. Dalam pendidikan multikultural setiap peradaban dan kebudayaan yang ada berada dalam posisi yang sejajar dan sama. Tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain.
Kedua adalah toleransi. Toleransi adalah sikap menerima bahwa orang lain berbeda dengan kita. Metode dialog dan toleransi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bila dialog adalah bentuknya, maka toleransi adalah isinya. Toleransi diperlukan tidak hanya pada tataran konseptual, melainkan juga pada tingkat teknis operasional. Inilah yang sejak lama absen dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita selama ini terlalu menitikberatkan pada pengkayaan pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (skill). Namun, mengabaikan penghargaan atas nilai-nilai budaya (multikultural) dan tradisi bangsa.

(Choirul Mahfud, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Surabaya)