Pages

Kamis, 25 Maret 2010

Ketika Pembelajaran Anak Ditelan Cyberspace*)

Bapak dan ibu senang bermain Game Komputer? Atau anak-anak kita sangat akrab dengan permainan Sega, Nitendo, Sony Play Station, atau X-Box? Ya, sebuah budaya dan dunia baru yang menelingkupi kita di era kesejagatan ini, era cyberspace.
Bumi kita memang masih bulat lonjong --bukan bulat bola utuh seperti kita lihat di gambar-gambar atau bentuk bola bumi--, namun kini bumi kini tak lebih dari sebesar bola tenis karena dengan alat komunikasi kita dapat menggenggam dunia. Manusia memang masih memiliki dua mata, namun kita dapat menggunakan mata kita untuk melihat benda-benda angkasa yang sangat jauh jaraknya dengan teleskop elektronik.
Kita telah dilenakan dengan hal yang maya ketimbang yang nyata. Tidak percaya? Dalam pendahuluan buku High Tech, High Touch karya John Naisbitt, (Naisbitt, 1999) dijelaskan akan zona mabuk teknologi, dimana salah satu gejalanya adalah mengaburkan perbedaan antara yang nyata dengan yang semu. Kita lebih percaya akan tayangan-tangan televisi ketimbang berita yang sebenarnya.
Sinetron menjadi “kamus” kita dalam bersikap dan berprilaku. Saya mempunyai pengalaman nyata ketika mengikuti seminar di Klub Buah Hati-nya Bunda Neno Warisman, ketika itu membahas tentang pernikahan dini dan hamil di luar nikah. Di salah satu materi meminta peserta mengambil sikap bagaimana bila salah satu keluarga kita terjadi kehamilan di luar nikah. Apa jawaban mereka? Ada salah satu komentar dalam kelompok saya, seorang ibu yang mengambil sikap dari melihat tayangan sinetron Pernikahan Dini di salah satu stasiun TV swasta –yang nyata-nyata kalau kita perhatikan merupakan contoh yang jauh sekali dari Budaya Asli Indonesia-, (benar bukan Ibu?!).
Dan anak-anak kita lebih menganggap nyata cerita dalam permainan mereka di Play Station 2 atau X-Box, sehingga banyak kasus di Amerika Serikat (ingat peristiwa penembakan di sekolah Springfield dan Littleton) dimana terjadinya pembunuhan terhadap sesama teman mereka satu sekolah dengan menggunakan senjata api -sungguhan- karena mereka mencontoh permainan Half Life atau Counter Strike yang mereka mainkan di game komputer mereka. Di permainan tersebut di peragakan permainan perang-perangan dengan menggunakan senjata api dan dapat menembak musuh mereka dari jarak yang dekat. Saya sempat memperhatikan dalam Game Station di beberapa Warnet (Warung Internet) beberapa anak bermain Counter Strike, mereka menembak musuh mereka bahkan dalam keadaan mereka tertawa dan tanpa berkedip (luar biasa).

PEMBELAJARAN ANAK SECARA KONSEP TEORI DAN KENYATAAN
Menurut Piaget, anak usia 7 – 11 tahun berada pada tingkat operasional konkrit. Artinya mereka akan menerima informasi dalam keadaan yang sebenar-benarnya nyata. Jadi media lihat-pandang-dengar-sentuh dan rasa sangat berguna bagi anak. Namun dengan era maya seperti sekarang, dimana televisi dan komputer menjadi media pembelajaran yang diminati siswa. Sentuhan, sebagai komponen yang harus dilalui dalam tahap operasional konkrit ini, terlupakan. Akibatnya, anak mungkin akan mengenal hewan kambing hanya lewat bentuk dan suaranya saja. Sedangkan bagaimana tingginya, halus atau kasar bulunya, bagaimana bentuk dan tekstur tanduknya mereka tidak dapat merasakannya.
Ketika anak duduk di dalam kelas, dan guru menjelaskan konsep tentang hewan kelinci. Dalam pikiran mereka berusaha mencari bentuk realitas akan sebuah benda yang bernama hewan kelinci itu. Bagi anak yang sudah pernah melihat kelinci akan sangat mudah memahami konsep nyata seeokor kelinci dengan bentuk konsep ide dari seekor kelinci dalam pikiran mereka.
Bagi anak yang belum pernah melihat mungkin akan mengalami kesulitan. Begitu dijelaskan bahwa telinga kelinci panjang, dalam pikiran mereka mungkin tertukar dengan telinga keledai yang mereka pernah lihat bertelinga panjang. Begitu dijelaskan bahwa kelinci melompat-lompat, dalam pikiran mereka mungkin tertukar dengan hewan tupai yang pernah mereka lihat melompat di pohon.
Sehingga, perlu suatu pembelajaran yang konkrit bagi anak dalam mengenal konsep suatu hal. Karena dalam diri manusia terdapat alam nyata dan alam ide. Alam nyata, merupakan alam yang mereka lihat-pandang-dengar-sentuh-dan rasa di dunia ini dengan seluruh panca indranya. Dan alam ide, merupakan alam dimana setelah mereka memahami sebuah konsep nyata tentang sebuah benda, mereka memasukkannya dalam pikiran mereka. Setiap konsep dalam alam ide setiap orang pasti berbeda-beda.
Contohnya, konsep tentang “kursi” dalam alam ide seseorang pasti berbeda. Ada yang berpikir berkaki dua, ada yang berpikir menggunakan tangan atau bahkan ada yang berpikir tentang kekuasaan. Namun konsep nyata sebuah kursi akan sama. Ketika diletakkan sebuah kursi di hadapan semua orang. Maka semua akan setuju bahwa yang berada di depan mereka adalah kursi.
Lantas bagaimana dengan membelajarkan anak dengan baik? Sedangkan setiap hari mereka selalu berhadapan dengan televisi, komputer dan internet? Haruskah anak kita beri suapan tentang berbagai konsep yang ada di alam ini? Bisa ya bisa pula tidak. Ingat setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Dan pemahaman seseorang akan sebuah konsep berbeda-beda pula. Hal yang terbaik adalah, mengajak anak melihat secara langsung sebuah benda dan mendiskusikannya kembali di dalam kelas. Sehingga di dapat pemahaman yang minimal hampir sama. Lantas bagaimana bila seorang anak telah mengetahui sebuah konsep sedangkan teman yang lain –termasuk gurunya- belum mengetahui? Dapat dilakukan dengan cara mengajak si anak menjeaskan di depan kelas, bahkan bila mungkin membawa benda yang dimaksud ke dalam kelas untuk bersama-sama di pelajari.

APAKAH ERA CYBERSPACE PERLU DITAKUTI DAN DIHINDARI?
Ketakutan akan sesuatu bila berlebihan dapat menimbulkan kerugian bila itu tidak dipelajari sebelumnya. Era Cyberspace cepat atau lambat akan menelingkupi kita semua. Tidak mungkin bila kita berlari menghindarinya.
Hal yang terbaik adalah kita tidak menghindari namun kita MEMPELAJARI dan MENGGUNAKANNYA bagi kesejahteraan seluruh ummat. Karena teknologi ibarat sebuah pisau, bila digunakan dengan baik maka dapat berguna bagi kehidupan, namun bila digunakan secara tidak bertanggung jawab dapat digunakan untuk tindak-tindak kriminal.

PENGGUNAAN CYBERSPACE UNTUK PEMBELAJARAN
Lantas bagaimana penggunaan cyberspace khususnya internet bagi pembelajaran? Bukan mustahil -dan sudah dilakukan- pembelajaran dilakukan dengan menggunakan media komputer dan internet. Dengan menggunakan prinsip belajar mandiri, pembelajaran menggunakan internet dikemas dalam bentuk modul-modul pendidikan. Sehingga setiap anak dapat dengan bebas memilih bidang dan kemampuan apa yang akan dipelajarinya. Sehingga setiap anak berkesempatan belajar mengenal dan mengembangkan potensi dirinya.

Sudah banyak situs-situs pembelajaran di internet baik untuk orang tua maupun bagi anak. Bahkan sudah menjadi semacam keharusan bagi setiap orang terkoneksi dengan jaringan internet, karena memang di sana pusat sumber informasi berotasi.
Yang menjadi perhatian kita sebagai pendidik adalah, bagaimana menjaga pemahaman anak dengan tidak hanya melepas anak asyik dengan dunia maya namun harus juga dikenalkan akan dunia realitas di sekitarnya.

*)Cyberspace: suatu ruang yang bukan sebenarnya dalam pengertian umum atau ruang tiga dimensi, melainkan sebuah metafora, sebuah “ruang” simbolis tempat kita “tinggal”, tetapi tidak dalam pengertian fisik. Telepon merupakan contoh nyata yang paling sederhana. Kita berkomunikasi –berbagi informasi, emosi dan sebagainya- tetapi tidak hadir secara fisik. (Ruang yang Hilang; pandangan humanis tentang budaya cyberspace yang merisaukan, Mizan, 1999.)

Sumber:
1. Slouka, Mark. 1999. Ruang yang Hilang: Pandangan Humanis tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan. Bandung. Seri Alaf, Mizan.
2. Widjanarko, Putut. 2000. Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace. Bandung. Mizan Pustaka.
3. Naisbitt, John., Nana Naisbitt, & Douglas Philips. 2001. High Tech High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi. Bandung. Mizan Pustaka.

(Muhammad N. Ikhsan)

1 komentar:

Posting Komentar